Asal Usul Dosa Anak Daud
Ini adalah berita keenam dalam serial yang terdiri dari tujuh bagian yang diberi judul Dosa-dosa Spektakuler dan Tujuan Globalnya dalam Kemuliaan Kristus. Berita ini diberi judul “Asal-Usul Dosa Anak Daud.” Maksudnya adalah keberadaan Israel sebagai sebuah Kerajaan – fakta bahwa Israel memiliki raja – merupakan akibat dari dosa. Merupakan sebuah dosa yang spektakuler dari umat Allah untuk menyatakan kepada Pencipta sekaligus Penebus mereka, “Kami ingin menjadi seperti bangsa-bangsa lain. Kami tidak ingin Engkau menjadi raja atas kami. Kami ingin seorang manusia menjadi raja atas kami.” Itu adalah sebuah dosa yang spektakuler. Nabi Samuel menyebutnya, dalam ayat ke-17, sebagai sebuah kejahatan besar. Betapapun, jika Israel tidak memiliki keberadaan sebagai kerajaan, Yesus Kristus takkan datang sebagai Raja Israel dan Anak Daud dan Raja atas segala raja. Tetapi keberadaan Kristus sebagai Raja atas Israel dan atas dunia ini bukanlah pemikiran yang muncul belakangan dalam pikiran Allah. Itu bukanlah respons yang tidak direncanakan terhadap dosa Israel. Sebaliknya, itu merupakan bagian dari rencana-Nya.
Mengapa Melakukannya dengan Cara Demikian?
Maka pertanyaan kita adalah: Jika Allah telah mengetahui bahwa dosa yang spektakuler ini akan terjadi dan bahwa Ia akan mengizinkannya terjadi, hingga kemudian keberadaan Israel sebagai kerajaan itu menjadi bagian dari rencana-Nya untuk mempermuliakan Kristus sebagai Raja atas segala raja, mengapa tidak menjadikan keberadaan Israel sebagai kerajaan sebagai bagian dari pemerintahan Israel sejak awal? Mengapa tidak menjadikan Musa sebagai raja Israel yang pertama? Lalu Yosua dan seterusnya? Mengapa menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Raja atas Israel pada awalnya, baru kemudian melalui dosa yang spektakuler, melibatkan keberadaan manusia sebagai raja di dalam sejarah Israel berikutnya?
Abraham dan Kerajaan yang Akan Datang
Marilah kita mulai dengan kisah yang sebenarnya. Dalam Kejadian 12 dikisahkan bahwa Allah memilih Abram sebagai bapa umat Israel dan berjanji kepadanya bahwa melalui keturunannya semua kaum di muka bumi akan diberkati (Kejadian 12:1-3). Sang Mesias, Yesus Kristus, akan datang melalui garis keturunan ini.
Salah satu peristiwa awal yang terjadi dalam kehidupan Abram adalah bahwa ia bertemu dengan sosok aneh yang dinamakan Melkisedek dalam Kejadian 14:18. Ia disebut sebagai “imam Allah yang Maha Tinggi” dan “raja Salem.” Namanya berarti “raja kebenaran.” Penulis Surat Ibrani, dalam Perjanjian Baru, melihat Melkisedek sebagai sebuah model atau prafigur atau nubuatan dari keberadaan Kristus, karena Mazmur 110:4 mengatakan bahwa raja Mesianik yang akan datang adalah juga “imam untuk selama-lamanya, menurut Melkisedek.” Demikianlah Surat Ibrani mengatakan, “Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera ... dijadikan sama dengan Anak Allah ... ” (Ibrani 7:1-3).
Hana dan Kerajaan yang Akan Datang
Demikian pula, sudah ada dalam rencana Allah, bahwa Mesias yang akan datang itu akan menjadi raja sekaligus imam. Keputusan menjadikan Mesias sebagai raja bukanlah baru muncul kemudian. Kita kembali melihat hal sedemikian dalam kisah kelahiran dan penyerahan Samuel kepada Tuhan. Anda tentu masih ingat bahwa ibu Samuel yang bernama Hana itu mandul. Tetapi Imam Eli menubuatkan bahwa ia akan memiliki seorang anak. Maka Samuel pun lahirlah dan Hana membawanya ke Bait Allah lalu menyerahkannya kepada Tuhan. Di antara sejumlah hal menakjubkan yang dikatakan oleh Hana adalah seperti yang tertulis dalam Kitab 1 Samuel 2:10 – dan ingat, ini terjadi pada periode sebelum munculnya raja di Israel (baru ketika pada masa tua Samuel itulah, bangsa Israel memaksa dia untuk mengangkat seorang manusia sebagai raja atas mereka). Hana berkata, “Orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan; atas mereka Ia mengguntur di langit. TUHAN mengadili bumi sampai ke ujung-ujungnya; Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapi-Nya.”
Musa dan Kerajaan yang Akan Datang
Sebelumnya, dalam Ulangan 17:14-20 Musa telah memberikan sejumlah instruksi terkait dengan perihal mengangkat raja sekiranya bangsa Israel benar-benar menginginkannya. Dan Ulangan 28:36 menubuatkan peristiwa pembuangan bangsa Israel beserta raja mereka itu jika mereka memberontak terhadap Tuhan. Jadi saya menyimpulkan bahwa apa yang terjadi dalam 1 Samuel 12 tidaklah mengejutkan Allah. Ia telah terlebih dulu mengetahui bahwa dosa yang spektakuler ini akan terjadi, dan Ia juga telah mengetahui bahwa Ia akan mengizinkannya terjadi. Dan ketika Allah berencana untuk mengizinkan suatu hal terjadi, Ia melakukannya dengan penuh hikmat, sama sekali bukan dengan kebodohan. Karena itulah, dosa yang spektakuler ini menjadi bagian dari rencana Allah yang sangat penting bagi kemuliaan Anak-Nya.
Bagaimana Kerajaan itu Datang
Mari kita terlebih dulu melihat bagaimana kerajaan itu datang, sebelum kita merenungkan mengapa Allah melakukannya dengan cara demikian. Tuntutan akan adanya seorang raja mulai muncul pada pasal ke-8 dari Kitab 1 Samuel, tetapi kita akan memulai pembahasan kita dari pasal ke-12. Ayat 8b: TUHAN “membawa nenek moyangmu keluar dari Mesir, dan membiarkan mereka diam di tempat ini.” Ayat 9: “Tetapi mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan Ia menyerahkan mereka ke dalam tangan Sisera, panglima tentara di Hazor, dan ke dalam tangan orang Filistin dan raja Moab, yang berperang melawan mereka.” Ayat 10: “Mereka [bangsa Israel] berseru-seru kepada TUHAN, katanya: ‘Kami telah berdosa, sebab kami telah meninggalkan TUHAN dan beribadah kepada para Baal dan para Asytoret; maka sekarang lepaskanlah kami dari tangan musuh kami, maka kami akan beribadah kepada-Mu.’” Ayat 11: “Sesudah itu TUHAN mengutus Yerubaal, Barak, Yefta dan Samuel, dan melepaskan kamu dari tangan musuh di sekelilingmu, sehingga kamu diam dengan tenteram.”
Bangsa itu Menolak Keberadaan Allah sebagai Raja
Maksud dari keberadaan ayat-ayat tersebut di atas adalah untuk menunjukkan betapa Allah telah menjadi raja ilahi yang setia bagi bangsa Israel. Ketika mereka berseru kepada-Nya, Ia menyelamatkan mereka. Ia memberi mereka keamanan. Itulah maksud keberadaan seorang raja – demi memberikan kedamaian bagi bangsa itu. Dan bagaimanakah respons mereka? Ayat 12: “Tetapi ketika kamu melihat, bahwa Nahas, raja bani Amon, mendatangi kamu, maka kamu berkata kepadaku [Samuel]: ‘Tidak, seorang raja harus memerintah kami,’ padahal TUHAN, Allahmu, adalah rajamu.”
Anda dapat mendengar nada ketidakpercayaan dalam suara Samuel: “Engkau meminta seorang raja, ketika Allah masih menjadi rajamu!” Jadi apa yang harus dilakukan oleh Samuel? Tuhan sudah memberitahukan itu kepadanya dalam 1 Samuel 8:7-9, “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka.... Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beri tahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.”
Dosa yang Spektakuler: “Kejahatanmu Besar”
Maka dalam 1 Samuel 12:13b, Samuel berkata: “Sesungguhnya TUHAN telah mengangkat raja atasmu.” Lalu ia memohon agar Tuhan berkenan memberi mereka tanda dalam guruh dan hujan, dan ia juga menggambarkan dosa mereka sebagai kejahatan besar. Ayat 17: “Bukankah sekarang musim menuai gandum? Aku akan berseru kepada TUHAN, supaya Ia memberikan guruh dan hujan. Lihatlah dan sadarlah, bahwa besar kejahatan yang telah kamu lakukan itu di mata TUHAN dengan meminta raja bagimu.”
Dan demi memastikan kita tidak salah dalam memahami pekerjaan Allah yang kudus melalui kejahatan yang tidak kudus ini, Rasul Paulus dalam Kisah Para Rasul 13:20-22, menjelaskan bahwa Allah sendirilah yang telah memberi kepada bangsa Israel raja mereka yang pertama. “Ia [Allah] memberikan mereka hakim-hakim sampai pada zaman nabi Samuel. Kemudian mereka meminta seorang raja dan Allah memberikan kepada mereka Saul bin Kish dari suku Benyamin, empat puluh tahun lamanya. Setelah Saul disingkirkan, Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka.” Kita telah melihat hal ini berulang kali dalam dosa-dosa yang spektakuler dalam sejarah. Manusia merencanakannya demi kejahatan, namun Allah merencanakannya demi kebaikan.
Apa yang Selayaknya Kita Pelajari dari Hal Ini?
Maka pertanyaannya adalah: Jika Allah telah mengetahui bahwa dosa yang spektakuler ini akan terjadi dan bahwa Ia akan mengizinkannya terjadi, hingga kemudian keberadaan Israel sebagai kerajaan itu menjadi bagian dari rencana-Nya untuk mempermuliakan Kristus sebagai Raja atas segala raja, mengapa tidak menjadikan keberadaan Israel sebagai kerajaan sebagai bagian dari pemerintahan Israel sejak awal? Mengapa tidak menjadikan Musa sebagai raja pertama? Lalu Yosua dan seterusnya? Mengapa Allah menjadikan diri-Nya sendiri sebagai raja pada awalnya, baru kemudian melalui sebuah dosa yang spektakuler melibatkan keberadaan manusia sebagai raja di dalam sejarah Israel? Apa yang selayaknya kita pelajari dari hal ini?
Paling tidak ada enam hal.
*1) Kita ini Tegar Tengkuk, Suka Memberontak, dan Tidak Tahu Berterima Kasih *
Melalui peristiwa ini, kita selayaknya memahami betapa kita ini tegar tengkuk, suka memberontak dan tidak tahu berterima kasih. Itu sebabnya 1 Samuel 12 diawali dengan kalimat-kalimat yang mengingatkan bangsa itu akan bagaimana Allah telah menyelamatkan mereka dari penindasan bangsa Mesir, sebelum kemudian mengaruniakan kepada mereka negeri yang telah dijanjikan-Nya, lalu juga, menyelamatkan mereka dari raja-raja yang jahat. Tetapi setiap kali itu pula mereka melupakan Allah dan menginginkan yang lain. Ini bukan hanya kisah mengenai bangsa Israel. Ini lebih merupakan kisah mengenai umat manusia secara keseluruhan. Ini adalah kisah mengenai hidup saya dan hidup Anda. Bahkan sebagai orang Kristen, kita sering kali tidak setia dalam afeksi kita kepada Allah. Kita memiliki hari-hari yang melimpah dengan syukur, namun tak jarang kita menjalami hari-hari kita dengan hati yang kurang bersyukur. Bahkan saat-saat di mana kita bersyukur, kita belum bersyukur sebagaimana yang seharusnya. Coba pikirkan betapa akan lebih berlimpah sukacita dan ucapan syukur Anda, sekiranya hati Anda berespons kepada diri Allah sendiri serta puluhan ribu berkat-Nya, dengan penuh hormat dan ucapan syukur yang selayaknya Ia terima. Demikianlah kisah-kisah semacam ini dimaksudkan oleh Allah untuk menjadi sarana bagi kita untuk bercermin. Ia mengizinkan umat-Nya untuk mengalami masa-masa penuh pemberontakan dan ketidaksetiaan ini, agar tersumbat setiap mulut dan seluruh dunia tunduk di bawah penghakiman Allah (Roma 3:19).
2) Allah Itu Setia terhadap Nama-Nya Sendiri
Melalui peristiwa ini kita selayaknya memahami betapa Allah itu setia terhadap nama-Nya sendiri. Lihatlah ayat ke-22: “TUHAN telah berkenan untuk membuat kamu menjadi umat-Nya.” Apakah yang menjadi fondasi terdalam dari kesetiaan Allah itu? Kesetiaan-Nya terhadap nama-Nya sendiri. Kecemburuan dan hasrat-Nya terhadap kemuliaan-Nya sendiri. Bacalah ayat ini dengan seksama: “TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-Nya yang besar.” Ayat ini tidak mengatakan oleh sebab “nama mereka yang besar,” melainkan oleh sebab nama-Nya yang besar. Allah sepenuhnya berkomitmen untuk menjunjung tinggi kelayakan dan kebenaran serta keadilan nama-Nya sendiri. Jadi kisah-kisah seperti ini dicatat di dalam Alkitab dengan tujuan mengajarkan kepada kita betapa segala jalan Allah itu diatur oleh hikmat Allah yang tidak terbatas, yang dipimpin oleh kelayakan nama Allah yang juga tidak terbatas.
3) Anugerah Mengalir kepada Orang Berdosa dari Kesetiaan Ultimat Allah terhadap Nama-Nya
Dari peristiwa ini kita selayaknya belajar betapa menakjubkannya anugerah bagi orang-orang berdosa seperti diri kita ini, yang mengalir dari kesetiaan ultimat Allah terhadap nama-Nya sendiri di tengah eksistensi dosa. Lihatlah ilustrasi yang menakjubkan dari hal ini pada ayat 19-22. Dalam ayat ke-19, dituliskan betapa bangsa Israel mengkhawatirkan akibat dari dosa spektakuler yang telah mereka lakukan kepada Allah. Mereka berkata, “Berdoalah untuk hamba-hambamu ini kepada TUHAN, Allahmu, supaya jangan kami mati, sebab dengan meminta raja bagi kami, kami menambah dosa kami dengan kejahatan ini.” Pernyataan yang mengikuti kalimat tersebut merupakan gambaran dari anugerah Injil yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang berdosa. Nabi Samuel berkata kepada bangsa itu (ayat 20), “Jangan takut; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.”
Berhentilah di sini dan kagumilah pernyataan Nabi Samuel ini. “Jangan takut; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.” Apakah itu bukan kesalahan cetak? Tidakkah pernyataan tersebut selayaknya berbunyi, “Takutlah; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.” Sebaliknya, pernyataan tersebut justru berbunyi, “Jangan takut; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.” Inilah anugerah sejati. Anugerah Allah tidak memperlakukan kita seturut dengan yang pantas kita terima, yakni: “Takutlah; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.” Tetapi justru lebih baik daripada yang pantas kita terima, yakni: “Jangan takut; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini.”
Bagaimana bisa demikian? Apakah dasar dari anugerah ini? Bukan jasa kita! Kita semata-mata telah melakukan kejahatan. Jadi bagaimana? Kita sudah melihat jawabannya, yakni di dalam ayat ke-22: Jangan takut “sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-Nya yang besar.” Kesetiaan Allah terhadap nama-Nya sendiri merupakan dasar dari kesetiaan-Nya kepada Anda. Sekiranya Allah meninggalkan kesetiaan ultimat-Nya kepada diri-Nya sendiri, maka takkan pernah ada anugerah bagi kita. Sekiranya Ia mendasarkan kebaikan-Nya bagi kita atas dasar kepantasan kita, maka takkan pernah ada kebaikan bagi kita. Kita ini tegar tengkuk, pemberontak, dan tidak tahu berterima kasih. Anugerah yang cuma-cuma dan tidak pantas didapatkan adalah satu-satunya pengharapan kita untuk dapat menjadi berbeda. Dan dasar dari anugerah itu bukanlah kelayakan nama kita, melainkan kelayakan nama Allah yang tak terbatas itu. Ingatlah 2 Timotius 2:13: “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.” Dari dosa yang spektakuler ini Allah mengajar kita untuk memahami betapa anugerah keselamatan kita bukan secara ultimat didasarkan pada nilai diri kita bagi diri-Nya, melainkan pada nilai diri-Nya bagi diri-Nya sendiri.
4) Jabatan Raja Hanyalah Milik Allah
Berdasarkan cara Allah menabiskan raja di Israel, kita selayaknya memahami bahwa jabatan raja itu hanyalah milik Tuhan. Allah mengawali relasi-Nya dengan bangsa Israel tanpa perantaraan manusia sebagai raja, agar boleh menjadi benar-benar jelas dan gamblang bahwa hanya Allah sendirilah yang layak menjadi raja atas Israel. Hanya Allah sendirilah raja. Ketika Israel meminta seorang raja, mereka sedang menolak kebenaran ini. Allah dengan lugas menyatakannya dalam 1 Samuel 8:7: “Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka.” Sekiranya Allah memulai sejarah Israel dengan menjadikan Musa dan Yosua sebagai raja-raja pertama, maka takkan pernah menjadi jelas bahwa hanya Allah sendirilah yang layak menjadi raja atas Israel. Tak seorang manusia pun layak menjadi pesaing bagi diri-Nya.
5) Manusia-Allah Selayaknyalah Menjadi Raja
Karena itu, kita selayaknya memahami cara Allah menempatkan seorang raja manusia yang bertujuan membuka garis keturunan para raja manusia, yang kesemuanya akan gagal sampai tibanya sang Raja atas segala raja, yang bukan hanya manusia tetapi sekaligus juga Allah, karena hanya Allah sajalah yang layak menjadi Raja atas Israel. Dengan memberikan seorang raja manusia bagi Israel, bukan berarti Allah mengubah pikiran-Nya bahwa hanya Allah sendirilah yang layak menjadi Raja atas Israel. Maksudnya: Allah sajalah Raja Israel, dan yang sedang datang sekarang adalah seorang Raja, Sang Anak Daud, yang tidak akan gagal seperti halnya para raja yang lain. Ia tidak akan menjadi sekadar seorang manusia berdosa, seperti halnya yang lain. Ia adalah manusia-sekaligus Allah.
Pertanyaan terakhir dari bibir Yesus yang membungkam orang-orang Farisi [di Matius 22:41-46] didasarkan pada Mazmur 110:1, di mana Raja Daud mengatakan, “Tuhan [Yahweh] telah berfirman kepada Tuanku [Sang Mesias dan Raja yang akan datang]: ‘Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kakimu.’” Yesus mengutip kalimat tersebut, kemudian bertanya kepada orang-orang yang memusuhi Dia, “Jadi jika Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?” Dengan kata lain, bagi orang-orang yang memiliki telinga untuk mendengar, Yesus lebih dari sekadar Sang Anak Daud. Ia lebih dari sekadar seorang raja manusia. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.... Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa” (Yohanes 1:1, 14). Hanya Allah sendiri yang dapat menjadi Raja yang sah atas Israel. Demikianlah awalnya. Demikian jugalah akhirnya. Yesus Kristus adalah Sang Raja Israel yang adalah manusia sekaligus Allah.
6) Sang Raja Telah Mati demi Umat-Nya
Akhirnya, kita selayaknya memahami cara Allah membawa seorang raja manusia bagi Israel karena memang diperlukan seorang raja manusia di sana. Hanya Allah yang dapat menjadi Raja yang sah atas Israel. Tetapi di sana diperlukan seorang raja manusia. Mengapa? Karena bagi Allah untuk dapat memiliki suatu umat untuk diperintah dan dikasihi, yang tidak perlu berada di neraka akibat pelanggaran dosa mereka, berarti bahwa Sang Raja harus mati bagi umatnya. Dan Allah tidak dapat mati. Manusialah yang dapat mati. Maka Allah telah merencanakan bukan hanya bahwa hanya Allah yang dapat menjadi Raja yang sah atas Israel, tetapi juga bahwa Raja yang sah atas Israel itu harus mati demi menebus rakyatnya. Maka Raja Israel itu adalah Sang Allah-Manusia sehingga Sang Raja dapat menjadi Allah, tetapi sekaligus juga adalah Sang Allah-Manusia sehingga Sang Raja dapat mati.
Ketika Samuel berkata, “Jangan takut, hai kamu yang tegar tengkuk, suka memberontak, dan tidak tahu berterima kasih ini; memang kamu telah melakukan segala kejahatan ini” (1 Samuel 12:20), apakah dasar dari anugerah ini? Dasarnya adalah kelayakan nama Allah. “Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-Nya yang besar” (ay. 22). Penjunjungan dan pembenaran nama Allah merupakan dasar dari anugerah. Dan di manakah pembenaran itu paling pasti dan ditunjukkan pada akhirnya? Jawabannya adalah di atas salib Kristus. Roma 3:25: “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.”
Di Kayu Salib, demi Nama-Nya
Sesungguhnyalah, Ia telah mati di kayu salib. Pada hari di mana bangsa itu patut dibinasakan karena meminta seorang raja, Allah justru mengampuni mereka dan mengabaikan dosa-dosa mereka – demi nama-Nya sendiri. Tetapi Engkau tidak dapat menyembunyikan dosa di dunia, sambil tetap menjunjung tinggi nama-Mu sebagai Allah yang benar dan kudus. Dosa harus dibereskan. Dosa harus dihukum. Dan dosa telah menerima ganjarannya, ketika Yesus mati.
Satu-satunya sebab yang membuat orang berdosa seperti kita ini dapat memiliki seorang Raja yang sesempurna, semulia, sedigdaya, sebajik, sekudus, dan sebijaksana Yesus tanpa perlu menjadi binasa akibat dosa kita adalah karena Allah telah merencanakan bagi Sang Raja untuk mati bagi umat-Nya dan bangkit kembali. Dalam keempat kitab Injil, dicatat betapa Yesus mendapat pertanyaan sesaat sebelum Ia mati, “Engkaukah raja orang Yahudi?” Dan Ia menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya” (Matius 27:11; Markus 15:2; Lukas 23:3; Yohanes 18:33).
Raja Segala Bangsa yang Akan Datang
Dan bukan hanya Raja atas orang Yahudi, tetapi juga Raja atas segala bangsa – khususnya bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Ia duduk di sebelah kanan Allah Bapa hari ini sampai kemudian semua musuh-Nya diletakkan di bawah kaki-Nya dan semua orang pilihan-Nya dikumpulkan dari segala bangsa di bumi. Lalu harinya akan tiba. Dan Kristus “akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia” (Ibrani 9:28). Dan “pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama” bukan raja orang Yahudi, tetapi “Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (Wahyu 19:16). Amin. Datanglah, Raja Yesus.