Gairah bagi Supremasi Allah, Bagian 1
Alasan-alasan untuk Memulai Program Gairah ‘97
Alasan #1
Saya ingin mengawali dengan mengatakan kepada Anda sejumlah alasan bagi keberadaan saya di sini. Salah satu keuntungan dari menjadi pendeta sebuah gereja lokal selama 16-17 tahun adalah bahwa kebersamaan kami selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun itu telah menjadikan visi sang pendeta dan visi gereja itu melebur jadi satu. Sekitar setahun yang lalu, kami mengeluarkan pernyataan visi yang berbunyi demikian:
Kami ada untuk menyebarkan sebuah gairah bagi supremasi Allah dalam segala hal demi sukacita semua orang.
Saya pikir tanpa ragu-ragu saya dapat mengatakan bahwa itulah misi hidup saya, juga misi Gereja Baptis Betlehem. Maka ketika saya menerima sebuah kartu undangan, mengetahui acara konferensi ini, membaca kata “gairah,” dan memahami kebenaran yang melatarbelakangi firman Tuhan dalam Yesaya 26:8 – “Kami juga menanti-nantikan saatnya Engkau menjalankan penghakiman; kesukaan kami ialah menyebut nama-Mu dan mengingat Engkau” – Saya serta-merta menjadi terobsesi.
Saya ingin menyebarkan sebuah gairah akan supremasi Allah dalam segala hal demi sukacita Anda semua dan semua orang di dunia ini. Jadi itulah alasan nomor satu bagi keberadaan saya di sini.
Alasan #2
Alasan kedua adalah karena saya ingin menjadi korek api kecil yang siap untuk menyalakan sukacita Anda. Saya ingin Anda meninggalkan tempat ini dalam keadaan penuh dengan sukacita dan berbahagia dalam Allah.
Alasan #3
Alasan ketiga adalah saya ingin Anda melihat dari Kitab Suci bahwa alasan pertama dan alasan kedua tersebut sebenarnya serupa. Kedua hal tersebut pada hakikatnya adalah satu. Maksudnya adalah bahwa hal menyebarkan gairah akan supremasi Allah dan hal menjadi bahagia di dalam Allah itu praktis identik. Sebab Allah paling dimuliakan di dalam Anda, saat Anda paling dipuaskan di dalam Dia.
Ada kalimat yang akan terus-menerus saya kutip: Allah paling dimuliakan di dalam diri Anda ketika Anda paling dipuaskan di dalam Dia. Jadi, baik puji-pujian yang kita naikkan maupun ekspresi dahaga akan Allah merupakan sarana bagi kita untuk mempermuliakan Allah. Karena semakin kita mendapatkan kepuasan di dalam Dia, semakin pula kita minum dari Dia dan makan dari meja perjamuan-Nya, maka semakin pula kelayakan dan kebesaran-Nya akan ditinggikan. Jadi tidak ada kompetisi – dan inilah yang menakjubkan, ini sungguh merupakan kabar baik bagi saya, yang telah saya pahami sejak tahun ’68, ’69, dan ’70, seraya Allah sedang berkarya dalam hidup saya. Tidak ada konflik di antara gairah Allah untuk dipermuliakan dan gairah Anda untuk dipuaskan, karena keduanya adalah satu.
Ada cara lain untuk mengungkapkan alasan ketiga bagi keberadaan saya di sini, yakni bahwa saya ada di sini dengan tujuan untuk membakar gletser. Saya teringat pada sebuah gambar. Gambar tersebut diinspirasikan oleh Injil Matius 24. Dalam Matius 24:12, dikisahkan betapa ketika bernubuat mengenai akhir zaman, Yesus berkata: “Karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Saya benar-benar takut menjadi dingin. Saya benci akan pemikiran bahwa kasih saya akan Allah atau kasih saya kepada sesama pada suatu ketika dapat menjadi kering atau beku. Namun Yesus mengatakan “Saat itu akan datang!” Saat itu akan datang seperti halnya gletser yang mengaliri seluruh permukaan bumi. Jadi saya pun membayangkan bahwa pada hari-hari terakhir itu kedurhakaan akan semakin bertambah dan kasih banyak orang akan menjadi dingin. Sampai di sini, deskripsi mengenai hari-hari terakhir memang terdengar sangat suram.
Tetapi jika Anda meneruskan membaca Matius 24 ini, sampai pada ayat ke-13, akan dikatakan, “Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat” – ini berarti akan ada orang yang dapat bertahan. Lalu ayat berikutnya mengatakan, “Dan Injil Kerajaan ini” – maksudnya “Injil tentang penyebaran gairah akan supremasi Sang Raja Yesus ini – “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” Sekarang mari kita letakkan ayat ke-12 di samping ayat ke-14 dan lihatlah apakah Anda merasakan ketegangan itu. “Karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin,” tetapi “Injil Kerajaan ini”— tentang pemerintahan Kristus yang berdaulat — “akan menyebar ke semua bangsa dan kemudian tiba kesudahannya.”
Jadi, terasa ada ketegangan di antara kedua ayat itu. Alasan saya dapat merasakan adanya ketegangan itu adalah karena memang bukan orang yang dingin hatinya yang akan pergi membawa Injil kembali memasuki kampus Anda. Bukan orang yang dingin hatinya yang akan pergi membawa Injil kepada masyarakat terpencil. Jadi bagaimana saya dapat mengetahui hal itu? Sebab, jika Anda membaca mundur beberapa ayat, sampai pada ayat ke-9, maka Anda akan mendapati kalimat nubutan yang sangat, sangat berbeda. Ayat tersebut menyatakan bahwa Yesus mengatakan, “Kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku,” Jadi jika hal itu benar – jika kita akan diserahkan kepada penguasa-penguasa dalam melaksanakan program misi kita, jika kita akan dibunuh, jika kita akan dibenci oleh semua bangsa ke mana pun kita pergi – maka satu hal yang saya yakini, yakni bahwa bukan orang yang dingin hatinya yang akan menyampaikan berita itu. Para penyembah Sang Raja Yesus yang hatinya sepanas bara api sajalah yang akan menuntaskan misi tersebut. Karena itu, apa yang saya lihat pada ayat 9-14 dari Injil Matius 24 adalah bahwa, ketika akhir zaman semakin dekat, akan ada orang-orang yang hatinya akan menjadi sedingin es, tetapi akan ada pula orang-orang yang hatinya masih murni dan tetap sepanas bara api sehingga bersedia untuk menyerahkan nyawa mereka bagi Yesus di antara umat manusia di muka bumi ini.
Jadi, pelayanan saya di Gereja Baptis Betlehem dan keterlibatan saya dalam program ini adalah bertujuan untuk membakar gletser. Suatu kali saya menunjukkan gambaran ini di gereja saya dan seorang anak perempuan berusia sekitar 6 atau 7 tahun, datang menghampiri saya selepas ibadah — saya mendorong anak-anak di gereja saya untuk menuangkan khotbah saya ke dalam gambar — dan ia berkata “Seperti inilah yang ada dalam bayangan saya.” Ia menunjukkan karyanya, sebuah gambar gletser yang mengagumkan dengan tulisan ‘Minneapolis’ di atasnya, dan gambar orang-orangan kecil yang sedang memegang obor. Selain itu, juga terlihat gambar sebuah lubang pada bagian puncak gletser, dan di atasnya terlihat limpahan berkas sinar matahari yang menembus turun melalui lubang itu.
Berikut ini adalah intisari dari imajinasi eskatologis saya. Mungkin Anda ingin mengetahui seperti apa kira-kira kampus Anda ketika Yesus datang kembali, atau seperti apa nantinya Austin, atau Minneapolis, atau kota kelahiran Anda: gletser sedang bergerak, dan hati sebagian besar manusia sedang menjadi dingin terhadap Allah – sedang mengering, sedang membeku – tetapi tidak ada satu bagian pun dalam Alkitab yang membahas tentang akhir zaman pernah menyebutkan, “gereja Baptis Betlehem,” atau bahkan “Minneapolis,” atau katakanlah, “Universitas Texas di Austin harus berada di bawah lapisan gletser itu.” Tidak! Jika terdapat cukup banyak manusia dengan obor yang membara membakar gletser bagi Allah, maka sebuah lubang besar dapat tercipta di atas kampus Anda, di atas gereja Anda, dan bahkan di atas kota Anda. Dan itulah sebabnya saya berada di sini: saya ingin mengangkat obor saya tinggi-tinggi.
Sekitar seratus tahun yang lalu, saat sedang berkhotbah di Metropolitan Tabernacle, Inggris, Spurgeon pernah mengatakan, “Orang datang untuk melihat saya terbakar.” Mereka datang untuk membawa obor mereka yang berkedip-kedip dan menjulurkannya pada obor saya, lalu pergi dan menyala bagi Yesus selama seminggu berikutnya. Saya akan sangat bersukacita jika pagi ini di tempat ini, Anda membawa obor Anda yang berkedip-kedip dan menjulurkannya ke obor saya. Itulah alasan saya berada di sini.
Maksud dari Berita Ini: Membangun Dasar
Harus ada dasar untuk apa yang ingin saya lakukan. Tugas saya di sini adalah berbicara mengenai hidup bagi kemuliaan Allah, memiliki gairah bagi kemuliaan Allah. Saya memiliki dua berita: pagi ini dan besok. Berita pagi ini merupakan dasar, dan berita besok merupakan aplikasi.
Beginilah dasarnya: gairah Anda akan supremasi Allah dalam segala hal secara persis didasarkan pada gairah Allah akan supremasi Allah dalam segala hal. Keberpusatan Anda pada Allah — jika itu akan terus bertahan — harus didasarkan pada keberpusatan Allah pada Allah. Jika Anda ingin Allah menjadi supremasi tertinggi dalam kehidupan Anda, maka Anda harus memahami, dan mengimani, dan mengasihi kebenaran bahwa Allah merupakan supremasi tertinggi dalam kehidupan Allah. Jika Anda ingin Allah menjadi harta abadi Anda – sebagaimana pujian yang baru kita naikkan di sini – sehingga Anda boleh menghormati Allah lebih dari segala sesuatu, Anda harus memahami dan mengimani bahwa harta abadi Allah adalah diri Allah sendiri, bahwa Allah lebih menghargai diri-Nya sendiri daripada segala sesuatu yang lain. Kita tidak boleh memisahkan dari diri Allah, hasrat tertinggi yang ada di alam semesta, yaitu penyembahan kepada Allah. Itulah dasarnya: itulah yang ingin saya bicarakan hari ini.
Selanjutnya, besok saya ingin berbicara mengenai hasrat Anda akan sukacita di dalam Allah, dan upaya ini perlu diimplikasikan dalam hasrat Allah akan kemuliaan-Nya di dalam hidup Anda.
Allah Bergairah bagi Kemuliaan-Nya
Izinkan saya memulai dengan sebuah cerita pendek. Saya berbicara di Wheaton College – almamater saya – sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Itu adalah kesempatan pertama saya berbicara di kapel megah dengan interior bernuansa biru dan berhiaskan tempat lilin nan indah itu. Saya naik ke mimbar dan mulai berbicara, “Tujuan utama Allah adalah untuk mempermuliakan Allah dan menikmati diri-Nya untuk selama-lamanya.” Serta-merta semua teman saya yang ada di balkon pergi meninggalkan ruangan, “Oh tidak, ia melewatkan kesempatan pertama di almamaternya sendiri untuk berbicara kepada para murid ini, yang kembali berkumpul di sini setelah dua puluh tahun, dan ia segera pula salah mengutip Katekismus Westminster dengan mengatakan, ‘Tujuan utama Allah,’ dan bukannya ‘Tujuan utama manusia.’” Dan demi membuat mereka lega, saya pun melanjutkan dengan mengatakan, “Saya sungguh-sungguh memaksudkan hal itu.” Dan saya sungguh-sungguh memaksudkannya pagi ini: tujuan utama Allah adalah untuk mempermuliakan Allah dan menikmati diri-Nya untuk selama-lamanya.
Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga penginjil. Ayah saya, Bill Piper, mengajar saya ketika saya masih kecil, dari 1 Korintus 10:31: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Tetapi saya tidak pernah mendengar siapa pun mengatakan bahwa Allah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah sendiri. Dan tindakan saya mempersembahkan hidup saya demi kemuliaan Allah adalah juga didasarkan pada realitas bahwa Allah hidup demi kemuliaan Allah sendiri.
Pada kertas kerja murid Sekolah Minggu, saya belum pernah menemukan adanya kalimat yang berbunyi, “Allah mengasihi diri-Nya sendiri lebih dari Ia mengasihi diri Anda, dan di dalam kasih inilah terletak satu-satunya harapan Anda bahwa Ia boleh mengasihi diri Anda, yang sedemikian tidak layak itu.” Karena belum pernah menemukan adanya kalimat seperti itu dalam kertas kerja Sekolah Minggu itulah, maka kami sedang berupaya mengadakannya di dalam kurikulum Gereja Baptis Betlehem. Mayoritas kita dibesarkan dalam keluarga maupun gereja yang mendidik kita menjadi orang Kristen yang sekadar mampu memiliki antusiasme terhadap satu pribadi Allah yang mengasihi kita, dan bukannya menjadi orang Kristen yang mampu berkomitmen pada satu pribadi Allah yang berpusat pada diri-Nya sendiri.
Di dalam dunia yang semata-mata berpusat pada manusia, di mana harga diri manusia menjadi nilai tertinggi, memang sangatlah mudah untuk menjadi orang Kristen yang semata-mata menikmati pengakuan atas prestasi yang telah Anda capai, tanpa keterlibatan Allah sama sekali. Siapakah orang yang bukan Kristen itu? Yah, Anda bukanlah orang Kristen jika Anda semata-mata mengasihi segala yang memang telah Anda kasihi, tanpa pernah mempergumulkannya dengan keindahan satu pribadi Allah yang berpusat pada diri-Nya sendiri. Jika Allah menjadi Allah sekadar karena Anda memerlukan sarana untuk mencapai kemajuan dan pemujaan diri Anda, dan bukannya karena Anda menyaksikan di dalam diri-Nya kemuliaan tanpa batas, sebagai seorang manusia yang dipuaskan oleh manifestasi kemuliaan Allah, maka Anda perlu mempertanyakan pertobatan Anda. Jadi, ini merupakan pemeriksaan realitas besar-besaran, di tempat ini, di kota Austin dalam acara Gairah ’97. Hanya sedikit orang yang pernah berkata kepada saya atau menunjukkan kepada saya apa yang sekarang telah saya lihat dalam Alkitab, yakni bahwa Allah telah memilih saya demi kemuliaan diri-Nya sendiri.
Saya ingat pernah mengajar sebuah kelas mengenai Surat Efesus 1 pada tahun 1976, dalam apa yang kami sebut “Interim” di Bethel College pada saat itu, dan melakukan tugas saya secara sistematis dengan menelusuri 14 ayat pertama dalam Surat Efesus, sebelum kemudian mendapati dunia saya tiba-tiba kembali terbuka lebar. Sebab, sebanyak tiga kali – pada ayat 6, 12, dan 14 – disebutkan betapa Ia memilih kita di dalam Dia sebelum dunia dijadikan dan Ia menetapkan kita menjadi anak-anak-Nya, untuk memuji kemuliaan anugerah-Nya.
Ia telah memilih Anda. Mengapa? Agar kemuliaan dan anugerah-Nya boleh dipuji dan ditinggikan. Keselamatan diri Anda adalah demi kemuliaan Allah. Pemilihan terhadap diri Anda adalah demi kemuliaan Allah. Regenerasi diri Anda adalah demi kemuliaan Allah. Pembenaran terhadap diri Anda adalah untuk kemuliaan Allah. Pengudusan diri Anda adalah untuk kemuliaan Allah. Dan satu hari nanti, pemuliaan terhadap diri Anda pun akan ikut terseret masuk ke dalam kemuliaan Allah.
Anda Diciptakan demi Kemuliaan Allah
Yesaya 43:6: “Bawalah anak-anak-Ku laki-laki dari jauh, dan anak-anak-Ku perempuan dari ujung-ujung bumi, semua orang yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku.”
Allah Menyelamatkan Umat-Nya Israel dari Mesir demi Kemuliaan-Nya.
“Nenek moyang kami di Mesir tidak mengerti perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib, tidak ingat besarnya kasih setia-Mu, tetapi mereka memberontak terhadap Yang Mahatinggi di tepi Laut Teberau. Namun diselamatkan-Nya mereka oleh karena nama-Nya, untuk memperkenalkan keperkasaan-Nya.” Mazmur 106:7-8
Dengan kata lain, Ia membelah Laut Teberau dan menyelamatkan umat-Nya yang suka memberontak itu, agar Ia dapat memberitakan kuat kuasa-Nya. Dan berita itu pun menyebar ke segala penjuru hingga tiba di Yerikho, lalu membawa keselamatan bagi seorang pelacur, sehingga ketika orang-orang yang disuruh itu tiba di sana dan siap membunyikan sangkakala, pelacur itu mereka dapati telah dilahirkan kembali oleh karena pernyataannya, “Kami mendengar nama-Mu dan kemasyhuran-Mu.” Satu perempuan dan keluarganya percaya kepada Allah yang berpusat pada Allah, sehingga terlepas dari kehancuran.
Allah Berbelas Kasih kepada Umat-Nya Israel di Padang Gurun demi Kemuliaan-Nya.
Allah berulang kali menyelamatkan umat-Nya Israel di padang gurun. “Bangsa Israel memberontak terhadap Aku di padang gurun,” demikian kata Nabi Yehezkiel, saat mengutip perkataan Allah, “Aku pikir Aku akan mencurahkan murka-ku, tetapi Aku bertindak demi nama-Ku, kalau tidak nama-Ku dinajiskan di antara bangsa-bangsa.” Dan akhirnya, Allah pun mengirim umat-Nya Israel ke dalam penghukuman di Babel, dan setelah 70 tahun belas kasih Allah pun melawat mereka. Allah takkan menceraikan mempelai perempuan kovenan-Nya, sebaliknya Ia akan membawa mereka kembali. Tetapi mengapa Ia melakukan hal itu? Apakah yang menjadi motif terdalam dari lubuk hati Allah?
Dengarkanlah pernyataan dalam Yesaya 48: “Oleh karena nama-Ku Aku menahan amarah-Ku dan oleh karena kemasyhuran-Ku Aku mengasihani engkau, sehingga Aku tidak melenyapkan engkau. Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!” Itulah motif yang berpusatkan pada Allah terkait dengan belas kasih.
Yesus Datang dan Mati demi Kemuliaan Allah
Apa yang menjadi alasan bagi kedatangan Yesus ke dalam dunia? Oh, betapa sedemikian seringnya kita mengutip Yohanes 3:16. Dan hal itu memang benar-benar sedemikian mulia. Sebelum kita menyelesaikan pembahasan kita pagi ini, atau paling lambat besok pagi, Anda akan dapat memahami betapa pemahaman kita sekarang ini dan pemahaman yang mungkin telah Anda pegang sekian lama itu, sama sekali tidak bertentangan.
Tetapi mengapa Ia datang ke dunia? Mengapa Yesus datang ke dunia? Menurut Roma 15:8, Ia datang demi alasan berikut ini: “Oleh karena kebenaran Allah Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat untuk mengokohkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang kita, dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya.” Kristus datang ke dunia, mengenakan tubuh jasmaniah, dan mengalami kematian agar Anda boleh mengembalikan kemuliaan kepada Sang Bapa, oleh karena rahmat-Nya. Kristus datang demi Sang Bapa. Itulah alasan utama kedatangan Kristus, demi kemuliaan Sang Bapa. Kemuliaan Sang Bapa itu mencapai puncaknya dalam kelimpahan rahmat-Nya.
Dengarkanlah pernyataan dalam Roma 3: “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian ... dalam darah-Nya ... untuk menunjukkan keadilan-Nya.... Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya pada masa ini” [ayat 25-26]. Itulah sebabnya Ia telah mati. Ia telah mati demi membela keadilan Allah yang telah membenarkan dosa-dosa seperti halnya perzinahan dan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh Raja Daud. Apakah fakta bahwa Allah membenarkan begitu saja dosa-dosa Daud dan membiarkan Daud tetap menjadi raja itu akan menganggu? Ya, fakta bahwa Allah tidak adil dan membiarkan dosa-dosa Daud itu benar-benar menganggu Rasul Paulus hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. Dan bukan hanya dosa-dosa Daud. Ada ribuan orang kudus di Perjanjian Lama dan pada masa kini yang dosa-dosanya benar-benar dilupakan-Nya dan dibenarkan-Nya. Rasul Paulus berseru, “Bagaimana Engkau adalah Allah tetapi melakukan hal itu? Bagaimana Engkau benar tetapi melakukan hal itu? Bagaimana Engkau adil tetapi melakukan hal itu? Bagaimana Engkau layak disembah tetapi melakukan hal itu?”— jika ada hakim di Austin yang melakukan hal seperti itu, maka ia pasti akan langsung dipecat, jika ia membebaskan para penganiaya anak-anak, para pemerkosa, para pembunuh — “dan jika Engkau melakukan hal itu setiap hari, maka Allah macam apakah Engkau?”
Salib merupakan solusi bagi masalah mega-theologis itu, yakni bagaimana Allah dapat tetap menjadi Allah, tetapi sekaligus mengampuni dosa? Kristus datang demi membenarkan tindakan Allah dalam menyelamatkan orang-orang seperti Anda. Karya keselamatan Kristus merupakan suatu hal yang secara agung dan mulia berpusatkan pada Allah.
Yesus Akan Datang Kembali demi Menerima Kemuliaan-Nya
Mengapa Yesus akan datang kembali? Yesus akan datang saudara sekalian, Ia sedang datang. Izinkan saya memberi tahu Anda mengapa Ia akan datang dan apa yang dapat Anda lakukan ketika Ia datang, sehingga Anda akan menjadi siap dan melakukannya?
2 Tesalonika 1:9: “Mereka ini akan menjalani hukuman kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya, apabila Ia datang pada hari itu untuk dimuliakan di antara orang-orang kudus-Nya dan untuk dikagumi oleh semua orang yang percaya.” Anda melihat kedua hal itu? Ia akan datang untuk dimuliakan, ditinggikan di antara orang-orang kudus-Nya, dan untuk dikagumi. Jika Anda tidak melakukannya mulai sekarang, maka Anda takkan dapat melakukannya saat Ia datang.
Konferensi ini diadakan demi menyalakan api di dalam tulang Anda dan memantik nyala api di dalam pikiran dan hati Anda demi mempersiapkan diri Anda untuk bertemu dengan Sang Raja Yesus, sehingga di sepanjang kekekalan Anda dapat terus melakukan apa yang telah direncanakannya saat menciptakan Anda, yaitu untuk mengagumi Dia dan meninggikan Dia.
Kita Selayaknya Membesarkan Allah Seperti Teleskop
Membesarkan Dia, tetapi bukan menurut metode mikroskop. Anda tahu perbedaan di antara kedua jenis metode pembesaran itu, bukan? Ada pembesaran menurut metode teleskop dan ada pembesaran menurut metode mikroskop. Membesarkan Allah menurut metode mikroskop merupakan penghujatan. Membesarkan Allah dengan mikroskop identik dengan mengambil sebuah objek berukuran kecil dan menjadikannya terlihat lebih besar. Jika Anda bermaksud mempraktikkan hal semacam itu terhadap Allah, maka Anda telah melakukan penghujatan. Sebaliknya, sebuah teleskop mengarahkan lensanya pada objek-objek yang ukurannya sedemikian besar hingga melampaui imajinasi kita dan hanya menolong kita melihat objek-objek tersebut sesuai dengan ukuran yang sebenarnya. Itulah kegunaan teleskop.
Bintang kecil yang berkelap-kelip – Saat Anda menengadah ke langit pada malam hari, bintang-bintang itu tampak seperti sekumpulan titik-titik kecil saja. Itu bukanlah ukuran sebenarnya. Anda mengetahui hal itu, Anda pernah kuliah, bukan? Bintang-bintang itu besar. Bintang-bintang itu benar-benar sangat, sangat besar, dan panas! Anda takkan pernah memahami itu sekiranya bukan karena pada zaman dahulu seseorang telah menemukan teleskop, meneropongkan matanya di situ, dan berpikir, “Itu lebih besar daripada bumi, jutaan kali lebih besar daripada bumi.” Demikianlah keberadaan Allah itu. Anda hidup dengan tujuan meneropong kemuliaan Allah bagi kampus Anda. Itu adalah panggilan yang besar. Saya akan membicarakan tentang bagaimananya besok.
Jika Allah Berpusat pada Diri Allah Sendiri, Bagaimana Ia Dapat Penuh Kasih?
Inilah pertanyaan kunci yang akan saya gunakan untuk menutup khotbah ini, karena saya tahu bahwa pertanyaan itu mulai muncul di sini. Saya telah mengatakan kebenaran ini, bahwa Allah adalah Allah yang berpusat pada diri-Nya sendiri dan keberpusatan Allah pada diri Allah sendiri merupakan dasar dari keberpusatan saya pada diri Allah. Saya telah mengatakan hal itu selama dua puluh tahun kepada orang banyak, dan pertanyaan pun mulai muncul: “Ini tidak terdengar penuh kasih, karena Alkitab berkata dalam 1 Korintus 13:5, ‘Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri.’ Selama lima belas menit terakhir ini, Anda sedang mengatakan kepada kami bahwa Allah menghabiskan seluruh waktu-Nya demi diri-Nya sendiri. Jadi Allah bukanlah penuh kasih, atau kalau tidak, maka Anda adalah seorang pembohong.” Dan itu adalah masalah besar. Maka izinkan saya mencoba untuk menjelaskan bagaimana Allah itu dapat menjadi penuh kasih sementara Ia sekaligus meninggikan diri-Nya sendiri.
Bantuan dari C. S. Lewis
Saya menemukan kuncinya pada C. S. Lewis. Jika ada di antara Anda yang telah membaca Desiring God (Mendambakan Allah [Surabaya: Penerbit Momentum, 2008], cetakan pertama, hlm. 8) maka Anda pasti ingat akan kutipan berikut ini. Lewis adalah seorang kafir sampai ia mencapai akhir dari usia 20 tahunan dan ia membenci narsisisme Allah. Ia mengatakan bahwa setiap kali ia membaca kata-kata dalam Kitab Mazmur, “Pujilah Tuhan, Pujilah Tuhan” – dan ia memahami doktrin Kristen, yang menyebutkan bahwa Kitab Mazmur merupakan hasil inspirasi – Ia tahu bahwa pada saat itu memang Allah sendirilah yang sedang mengatakan, “Pujilah Aku, Pujilah Aku” dan itu terdengar seperti seorang perempuan tua yang sedang mencari puji-pujian. Ini merupakan kutipan dari Reflections on the Psalms (“Refleksi atas Kitab Mazmur”). Kemudian tiba-tiba Allah datang ke dalam kehidupan C. S. Lewis. Dan inilah yang ditulisnya:
Fakta yang paling jelas tentang pujian – entah tentang Allah atau apa pun – anehnya lepas dari ingatan saya. Saya memikirkannya dalam pengertian pujian, persetujuan, atau pemberian hormat. Saya tidak pernah memerhatikan bahwa semua kenikmatan secara spontan meluap ke dalam pujian.… Dunia berdering dengan pujian – para kekasih memuji gadis-gadis mereka, para pembaca memuji penyair favorit mereka, para pelancong memuji alam pedesaan, para pemain memuji permainan favorit mereka – pujian akan cuaca, anggur, makanan, aktor, kuda, universitas, negara, tokoh sejarah, anak-anak, bunga, gunung, perangko langka, kumbang langka, bahkan kadang juga, politisi dan sarjana. Secara lebih umum, seluruh kesulitan saya tentang pujian kepada Allah bergantung secara tak masuk akal pada penyangkalan saya atas [Dia] yang sangat Berharga, apa yang senang kita lakukan, apa yang memang tidak dapat berhenti kita lakukan, mengenai setiap hal lain yang kita hargai.
Kemudian sampailah kita pada kalimat-kalimat kunci:
Saya pikir kita senang memuji apa yang kita sukai, karena perasaan sukacita itu belumlah lengkap sampai kemudian dapat diekspresikan. Pujianlah yang telah membuat para kekasih tak henti-hentinya mengungkapkan satu kepada yang lain akan betapa cantiknya diri mereka. Perasaan sukacita itu belumlah lengkap sampai kemudian dapat diekspresikan.
Jadi, itulah kunci yang telah membukakan bagi saya sesuatu hal terkait dengan bagaimana Allah dapat menjadi penuh kasih sekaligus juga meninggikan diri-Nya sendiri dalam segala yang dilakukan-Nya. Demikianlah hal tersebut terjadi. Izinkanlah saya merangkaikan seluruhnya bagi Anda.
Jawaban terhadap Pertanyaan Itu
Ika Allah berkenan mengasihi Anda, apa yang selayaknya diberikan-Nya kepada Anda? Ia selayaknya memberikan apa yang terbaik bagi Anda. Dan hal terbaik di seluruh alam semesta itu adalah diri Allah sendiri. Seandainya Ia memberi Anda kesehatan yang sempurna, pekerjaan terbaik, pasangan terbaik, komputer terbaik, liburan terbaik, kesuksesan terbaik dalam bidang apa pun, namun tidak memberikan diri-Nya bagi Anda, maka berarti Ia tidak mengasihi Anda. Sebaliknya, jika Ia memberikan Allah kepada Anda, dan tidak ada lagi yang lain kecuali itu, maka berarti Ia mengasihi Anda secara total.
Jika Allah berkenan mengasihi saya, maka selayaknyalah saya memiliki diri Allah demi kepenuhan sukacita saya. Lewis bermaksud mengatakan bahwa jika Allah memberikan kepada Anda diri-Nya sendiri demi sukacita kekal Anda, maka sukacita itu tidak akan mencapai kepenuhannya sampai kemudian Anda mengekspresikannya dalam bentuk pujian. Oleh karenanya, untuk dapat berkenan mengasihi diri Anda sepenuhnya, Allah tidak mungkin tidak memedulikan apakah Anda akan mencapai kepenuhan sukacita Anda melalui pujian atau tidak. Oleh karenanya pula, Allah selayaknya menantikan pujian dari Anda jika Anda hendak dikasihi oleh-Nya. Apakah ini masuk akal? Saya meragukan jika saya perlu menjelaskannya kembali kepada Anda. Itu adalah esensi kehidupan saya. Saya percaya bahwa itu adalah juga esensi Alkitab.
Untuk mengasihi Anda, Ia harus memberi Anda apa yang terbaik bagi Anda. Allah adalah apa yang terbaik bagi Anda. “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa” (Mazmur 116:11). Allah memberikan diri-Nya sendiri kepada kita demi sukacita kita. Tetapi Lewis telah menunjukkan kepada kita bahwa kecuali sukacita itu dapat diekspresikan dalam bentuk pujian bagi Allah, maka sukacita itu akan tetap terkekang. Dan karena Allah tidak ingin membatasi kesukaan Anda, maka Ia pun berfirman, “Pujilah Aku. Dalam segala yang kamu lakukan, pujilah Aku. Dalam segala yang kamu lakukan, tinggikanlah Aku. Dalam segala yang kamu lakukan, milikilah gairah akan supremasi-Ku.” Ini berarti bahwa gairah Allah untuk dipermuliakan dan gairah Anda untuk mencapai kepenuhan sukacita itu memang tidak saling bertentangan. Keduanya dapat berjalan seiring. Allah paling dipermuliakan di dalam Anda, ketika Anda mencapai kepenuhan di dalam Dia.
Jadi, itulah akhir dari pembicaraan kita pagi ini. Izinkanlah saya mengatakan kepada Anda ke mana pembahasan kita ini akan mengarah besok, sehingga Anda dapat berdoa untuk hal itu dan agar Anda dapat, saya harap, kembali hadir dan membiarkan saya menuntaskannya, karena saya memang belum menuntaskannya. Jika memang benar, bahwa Allah paling dimuliakan di dalam Anda ketika Anda mencapai kepenuhan di dalam Dia – dan karenanya, tidak ada ketegangan atau kontradiksi di antara kepenuhan Anda di dalam Dia dengan pemuliaan-Nya di dalam Anda – maka aktivitas hidup Anda selayaknya ditujukan bagi pencapaian sukacita Anda. Saya menyebut hal ini sebagai hedonisme Kristen, dan besok saya ingin berbicara kepada Anda tentang bagaimana Anda selayaknya mengupayakan sukacita Anda dan mengapa hal tersebut akan mengubahkan relasi Anda, kampus Anda, ibadah Anda, dan kehidupan kekal Anda.